Pukul lima sore, kota Bandung mulai dipenuhi cahaya lampu jalan yang kuning. Di sebuah lorong sempit di Kecamatan Cicendo, ada seorang pemuda bernama Budi. Usianya baru menginjak 18 tahun, tapi wajahnya sudah tampak tua oleh beban hidup. Matanya berkaca-kaca, tampak lelah menghadapi hari yang panjang.
Budi baru saja pulang dari tempat kerjanya sebagai buruh cuci baju. Tangan kanannya memegang kantong plastik berisi dua buah pisang dan sebungkus nasi kucing. Itu makanan malamnya dan adiknya, Lina.
“Kita makan nasi kucing, Lina,” kata Budi dengan senyum lelah.
Lina, gadis berusia 10 tahun, mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Iya, kakak.”
Di balik pintu rumah kontrakan yang berukuran 2×3 meter itu, ibu mereka, Bu Sri, terbaring di kasur lantai. Dia sudah setahun menderita penyakit paru-paru. Obat-obatannya pun sudah tidak ada lagi.
“Mama?” tanya Lina dengan khawatir.
Bu Sri hanya menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa, anak. Ayah sudah beli obat.”
Budi tahu bahwa itu adalah kebohongan. Uang yang dia dapatkan hari ini hampir semua habis untuk makanan. Obat untuk ibunya belum juga bisa dibeli.
Setelah makan, Budi duduk di serambi rumah kontrakan yang kecil itu. Dia menatap langit yang mulai gelap. Dia merasa putus asa. Bagaimana caranya mengubah nasib mereka? Hidup di kota ini terlalu sulit.
Di saat bersamaan, di sisi lain kota, ada seorang pemuda bernama Raffi. Usianya 20 tahun, putra seorang pengusaha sukses. Tapi berbeda dengan orang kaya pada umumnya, Raffi tidak sombong. Dia lebih suka menghabiskan waktu di jalan-jalan untuk melihat kehidupan rakyat kecil.
Hari itu, Raffi sedang jalan-jalan sendirian di kawasan Cicendo. Dia ingin mencari inspirasi untuk proyek sosial yang akan dia lakukan.
Di sebuah lorong sempit, Raffi melihat seorang pemuda duduk di serambi rumah kontrakan, menatap langit dengan tatapan sedih. Raffi penasaran. Dia mendekati pemuda itu.
“Ada apa, kakak? Kenapa duduk di sini?” tanya Raffi dengan ramah.
Budi terkejut saat melihat ada orang asing yang berbicara padanya. “Oh, tidak apa. Hanya sedikit lelah.”
“Kamu tinggal di sini?” tanya Raffi sambil menatap rumah kontrakan yang kecil itu.
Budi mengangguk. “Iya, ini rumah kontrakanku.”
Raffi melihat-lihat kondisi rumah itu. Dindingnya sudah keropos, atapnya bocor, dan tidak ada perabotan yang layak. “Rumahnya kecil ya.”
Budi tersenyum pahit. “Ini sudah bagus, kakak. Ada atap yang bisa buat kita berteduh dari hujan.”
Raffi merasa kasihan. “Kamu kerja di mana?”
“Di sebuah tempat cuci baju. Gaji saya pas-pasan,” jawab Budi.
Raffi menghela napas. “Aku bisa bantu kamu?”
Budi terkejut. “Bantu? Kenapa mau bantu aku?”
Raffi tersenyum. “Karena aku melihat kamu butuh bantuan. Aku sedang cari orang-orang yang mau berubah. Kalau mau, besok bisa datang ke kantor aku. Aku mau ajak kamu kerja.”
Budi ragu. “Tapi aku tidak punya pendidikan yang bagus.”
“Tidak masalah. Aku lihat dari matamu, kamu orang yang rajin. Itu yang penting,” kata Raffi dengan tegas.
Budi akhirnya setuju. Dia merasa ada harapan kecil untuk mengubah nasibnya.
Keesokan harinya, Budi datang ke kantor Raffi. Raffi adalah direktur di perusahaan ayahnya, sebuah perusahaan IT yang sedang berkembang.
Raffi langsung memperkenalkan Budi pada beberapa karyawan senior. “Nanti kalian ajari dia pekerjaan di bagian administrasi. Aku mau dia belajar dari bawah.”
Budi merasa takut. Lingkungan kantor itu sangat berbeda dengan kehidupannya selama ini. Tapi dia harus mencoba.
Selama seminggu pertama, Budi banyak belajar. Dia belajar cara mengoperasikan komputer, cara berkomunikasi dengan klien, dan cara menyelesaikan pekerjaan dengan cepat.
Budi adalah orang yang pintar. Meskipun tidak pernah kuliah, dia cepat paham apa yang diajarkan. Dia juga rajin dan tekun.
Raffi melihat potensi di Budi. Dia mulai memberikan tugas-tugas yang lebih berat kepada Budi.
Setelah tiga bulan, Budi sudah bisa menguasai pekerjaan administrasi. Dia bahkan mulai memberikan ide-ide baru untuk perusahaan.
Raffi melihat itu. “Budi, aku mau bawa kamu ke perusahaan lain. Aku mau ajak kamu kerja di sana.”
Budi kaget. “Di perusahaan lain? Tapi aku baru saja mulai paham pekerjaan di sini.”
Raffi tersenyum. “Aku mau lihat potensimu. Di perusahaan itu, kamu bisa jadi asisten manajer. Gajinya lebih besar.”
Budi ragu. “Aku takut tidak bisa.”
“Tidak apa. Aku akan bantu kamu. Nanti aku ajak juga kakakmu yang lain. Aku mau bawa kalian semua naik,” kata Raffi dengan tegas.
Budi merasa sangat beruntung. Dalam waktu singkat, hidupnya sudah berubah drastis.
Di perusahaan baru itu, Budi bekerja keras. Dia belajar banyak hal baru. Raffi selalu membimbingnya.
Setahun kemudian, Budi sudah duduk di posisi manajer muda. Gajinya cukup untuk mengubah nasib keluarganya.
Budi segera membeli rumah yang lebih layak. Dia juga membawa ibunya ke rumah sakit untuk perawatan.
Setelah beberapa bulan perawatan, kondisi Bu Sri mulai membaik. Dia bisa bangun dari tempat tidurnya.
“Budi, kamu sudah berhasil,” kata Bu Sri dengan senyum lembut.
Budi tersenyum. “Ibu, ini semua karena Raffi. Dia yang membantu aku.”
Budi tidak lupa membawa Lina ke sekolah yang lebih baik. Hidup mereka sudah jauh berbeda.
Empat tahun kemudian, Budi sudah menjadi direktur di perusahaan itu. Dia berhasil membuktikan bahwa dirinya adalah orang yang sukses.
Suatu hari, Budi sedang duduk di kantornya yang megah. Dia menatap dari jendela kantor yang ada di lantai 25.
Tiba-tiba, pintu kantornya dibuka. Raffi masuk dengan senyum.
“Raffi!” seru Budi dengan senang.
Raffi duduk di depan meja Budi. “Bagaimana kabarnya, Budi?”
“Baik-baik saja. Aku sudah jadi direktur. Ini semua berkat bantuanmu,” kata Budi dengan penuh rasa syukur.
Raffi tersenyum. “Aku hanya melihat potensi yang ada di dalammu. Kamu orang yang rajin dan tekun. Kamu pantas sukses.”
Budi menghela napas. “Aku tidak akan lupa jasa baikmu. Aku akan bantu orang-orang seperti aku dulu.”
Raffi mengangguk. “Itu yang kuberikan. Kamu bisa bantu mereka, seperti aku membantumu.”
Budi akhirnya membangun yayasan untuk membantu anak-anak miskin mendapatkan pendidikan. Dia juga menyediakan pekerjaan untuk orang-orang yang membutuhkan.
Beberapa tahun kemudian, Budi sudah menjadi salah satu pengusaha sukses di kota itu. Hidupnya penuh dengan kebahagiaan.
Di suatu sore, Budi duduk di taman kota bersama keluarganya. Dia melihat seorang anak miskin yang duduk di bangku, menatap langit dengan tatapan sedih.
Budi segera mendekati anak itu. “Ada apa, adik?”
Anak itu terkejut. “Tidak apa, kakak.”
Budi duduk di samping anak itu. “Kakak pernah seperti kamu. Dulu aku juga hidup miskin, tapi ada orang baik yang membantu aku.”
Anak itu menatap Budi dengan mata penuh harapan. “Benarkah, kakak?”
Budi tersenyum. “Benar. Jadi, jangan putus asa. Kalau mau, besok bisa datang ke kantor kakak. Aku mau ajak kamu kerja.”
Anak itu mengangguk dengan antusias. “Iya, kakak!”
Budi melihat anak itu pergi dengan senyum ceria. Dia tahu bahwa dia telah melanjutkan apa yang pernah dilakukan Raffi untuknya.
Dan itulah cerita mereka, cerita tentang kebaikan hati yang mengubah nasib, tentang pertemanan sejati yang tidak memandang status, dan tentang harapan yang tumbuh dari kegelapan.




Recent Comments