Langit Jakarta sore itu berwarna jingga pekat, seperti luka menganga di ufuk barat. Di bawahnya, di pinggiran jembatan layang yang berdebu, Rian mengeja huruf demi huruf di koran bekas yang ditemukannya. Jemarinya yang kurus, sesekali menggaruk kepala plontosnya yang terasa gatal. Usianya mungkin baru sepuluh, mungkin sebelas. Tapi matanya, itu mata seorang lelaki tua yang sudah kenyang melihat getirnya hidup.
“Rian, sini!” Suara cempreng Imah memecah konsentrasinya. Gadis kecil berambut jagung itu melambai-lambai dari balik tiang beton, tangannya memegang sebungkus nasi sisa yang entah didapat dari mana. Aroma nasi dan sedikit lauk ayam goreng sisa itu menguar, membuat perut Rian berkeroncongan.
Mereka berdua adalah penghuni tetap kolong jembatan itu, bersama beberapa anak lain yang bernasib serupa. Siang mereka berkeliling, mengais rezeki dari belas kasihan atau keberuntungan. Malam, mereka meringkuk di balik kardus bekas, berteman dinginnya angin malam dan bisingnya lalu lintas.
Hari itu, rezeki memang tak seberapa. Beberapa koin receh dari mengamen seadanya, dan sebungkus nasi sisa yang harus dibagi berdua. “Cukup buat nambah tenaga, Im,” kata Rian, mengambil separuh nasi yang disodorkan Imah.
Malam semakin larut. Rian dan Imah berbaring berdampingan, beratapkan langit Jakarta yang dipenuhi bintik-bintik cahaya lampu kota, bukan bintang. Dingin merayap, menembus tipisnya baju mereka. Rian memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan wajah ibunya yang samar-samar. Ibunya pergi entah ke mana, meninggalkan dirinya di sebuah panti asuhan sebelum ia memutuskan kabur.
“Rian,” suara Imah pelan. “Lihat itu.”
Rian membuka mata. Di kejauhan, di atas gedung-gedung tinggi yang menjulang, ada sebuah titik merah kecil yang menari-nari. Semakin lama, semakin jelas. Sebuah layangan. Layangan merah terang, menari bebas di tengah kegelapan malam.
Mata Rian berbinar. Ia ingat, dulu, ayahnya sering mengajaknya bermain layangan di lapangan dekat rumah. Ayahnya selalu bilang, layangan itu seperti harapan, harus diterbangkan tinggi-tinggi. Tapi itu dulu, sebelum ayahnya meninggal dan hidupnya berubah drastis.
“Cantik sekali,” bisik Imah, matanya tak lepas dari layangan merah itu. “Pasti punya anak orang kaya.”
Rian tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi dia bebas, Im. Bebas ke mana aja dia mau.”
Layangan merah itu terus menari, semakin lama semakin tinggi, seolah mengejek keterbatasan mereka. Rian dan Imah terus memandangnya, seolah layangan itu adalah satu-satunya harapan yang bisa mereka genggam di tengah kerasnya jalanan.
Pagi menyapa dengan suara klakson dan deru mesin. Rian terbangun, tubuhnya pegal. Imah masih terlelap di sampingnya. Ia bangkit, meregangkan badan, dan pandangannya langsung tertuju ke langit. Layangan merah itu sudah tak ada. Hanya tersisa langit biru pucat yang kosong.
Sebuah rasa sesak tiba-tiba menyergap dada Rian. Kebebasan, setinggi layangan itu, terasa begitu jauh. Ia menatap Imah yang masih tidur, lalu ke sekeliling kolong jembatan yang mulai ramai dengan hiruk pikuk pagi. Sebuah pemikiran melintas di benaknya, entah dorongan dari mana.
“Im, bangun!” Rian mengguncang bahu Imah. “Kita ke sana!”
Imah mengucek mata. “Ke mana?”
“Ke tempat layangan itu terbang semalam,” jawab Rian, matanya penuh tekad. “Siapa tahu kita bisa lihat orangnya, atau setidaknya, melihat layangan itu lagi.”
Mereka berjalan menyusuri jalanan kota yang padat, melewati gedung-gedung megah, dan pertokoan mewah yang tak pernah terjamah oleh mereka. Perjalanan itu terasa jauh, penuh dengan tatapan aneh dan bau-bau kota yang asing. Namun, ada semangat baru yang membara di dada Rian. Ia tidak tahu apa yang akan mereka temukan, atau apakah mereka akan menemukan apa-apa. Tapi setidaknya, ada tujuan.
Ketika mereka akhirnya tiba di sebuah taman kota yang luas, tempat anak-anak kaya bermain dan tertawa riang, Rian melihatnya. Seorang anak laki-laki seusianya sedang menarik tali layangan. Dan layangan itu, layangan merah yang sama.
Jantung Rian berdegup kencang. Ia ingin mendekat, ingin tahu bagaimana rasanya memegang tali layangan itu lagi. Tapi kakinya terpaku. Ada jurang yang tak terlihat, memisahkan dunianya dengan dunia anak laki-laki di depannya. Sebuah jurang yang terasa lebih lebar dari sungai mana pun.
Imah menarik lengan baju Rian. “Sudah, Rian. Ayo kita pulang. Itu bukan dunia kita.”
Rian menatap layangan merah itu untuk terakhir kalinya. Ia menghela napas. Benar kata Imah. Itu bukan dunia mereka. Namun, di dalam hatinya, sebuah benih harapan kecil telah tertanam. Harapan yang seolah terbang setinggi layangan merah itu, meski ia tahu, untuk menggapainya, butuh lebih dari sekadar seutas benang. Rian berbalik, menggenggam tangan Imah, dan mereka melangkah kembali, menyusuri jalanan kota yang keras, menuju kolong jembatan yang berdebu, tempat mereka berdua menjadi bagian dari langit Jakarta yang tak selalu ramah.




Recent Comments