Pukul lima pagi, jendela rumah bambu milik Pak Sastro sudah dibuka lebar oleh angin kencang dari arah utara. Angin itu membawa bau-bauan dari sungai yang berada di belakang rumahnya, campuran bau ikan mati, limbah industri, dan bau kotoran manusia. Pak Sastro sudah bangun, duduk di serambi rumahnya sambil menggosok gigi dengan kayu sok-sokan.
“Bangun, bangun! Sudah pagi, harus pergi cari ikan!” suara istrinya, Bu Siti, memecah keheningan pagi. “Kalo lagi tidak mau, kita mati kelaparan depan rumah ini.”
Pak Sastro hanya menggeleng-geleng kepala sambil kembali menggosok gigi. “Besok aja, besok pasti ada yang beli. Besok saya jual kambing.”
“Besok, besok! Seminggu ini cuma kata besok! Kambingmu itu hanya ada di mulut lo! Malah ikan yang mau dijual, juga nggak ada!” Bu Siti marah, suaranya membesar.
Anak-anaknya yang baru saja bangun mendengar suara ibunya. Lina, anak sulung yang sudah berusia 17 tahun, segera bangun dari tilamnya yang tipis. Dia membuka pintu kamar dan melihat ayahnya duduk di serambi sambil menggosok gigi.
“Ayah, besok mau jual kambing?” tanya Lina dengan mata penuh harapan.
Pak Sastro berhenti menggosok gigi, menatap anaknya. “Iya, sayang. Besok ayah jual kambing. Nanti ayah belikan kau baju baru.”
Lina tersenyum. “Terima kasih ayah.”
Sementara itu, adiknya, Budi, yang baru berusia 15 tahun, sudah keluar dari kamar dan langsung menuju ke sungai. Dia ingin mencari ikan dengan jaring yang sudah dibuatnya semalam. Sungai itu sungai tercemar, airnya hitam dan berbau busuk, tapi untuk Budi dan teman-temannya, sungai itu adalah sumber kehidupan.
Budi turun ke tepi sungai, jaring di tangan. Dia melihat beberapa teman seusianya sudah ada di sana, semuanya mencari ikan atau mencari barang-barang berharga yang terbuang ke sungai.
“Ada ikan besar nih, Budi!” seru Joko, temannya yang sedang menunjuk ke arah celah antara dua batu.
Budi mendekat, melihat ada seekor ikan mas yang cukup besar terjebak di sana. Dia senang. “Wah, ikan besar ini! Nanti jadi lauk makan malam.”
Tapi tiba-tiba, dari arah hutan belakang, datanglah seorang pemuda yang sudah tua usianya, wajahnya kotor, matanya keruh. Dia melihat ikan yang ditunjuk Budi.
“Apa itu milikmu?” tanya pemuda itu dengan suara serak.
Budi takut. “Nggak, saya baru saja lihat. Ini ikan sungai, bukan milik siapa-siapa.”
Pemuda itu mendekat, menatap Budi dengan mata yang menyeramkan. “Aku lihat pertama, ini milik aku. Kamu mau ngambil?”
“Bang, ini sungai umum. Siapa saja bisa mencari ikan di sini,” kata Budi dengan pelan.
Pemuda itu marah. Dia mengambil batu dari sampingnya dan hampir saja melempar ke arah Budi. “Anak kecil, jangan banyak cakap! Kalau nggak mau, aku potong saja ikan itu.”
Budi dan teman-temannya panik. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah penjahat kecil di kawasan itu. Dia sering memeras anak-anak yang mencari ikan di sungai.
“Bang, tenang. Saya tidak mau jadi masalah. Ikan itu, kita bagi-bagi saja,” kata Budi dengan tenang.
Pemuda itu tersenyum sinis. “Bagi-bagi? Iya, kamu dapat ekor, aku dapat kepala.”
Budi tidak berdaya. Dia hanya bisa menatap pemuda itu dengan marah. Tapi dia tahu bahwa melawan pemuda itu adalah hal yang mustahil.
Sementara itu, di rumah Pak Sastro, suasana semakin tegang. Bu Siti sudah siap berangkat kerja, tapi Pak Sastro masih duduk di serambi sambil menggosok gigi.
“Masih nggak mau pergi? Nanti kapan cari ikan?” tanya Bu Siti lagi.
Pak Sastro akhirnya bangkit. “Aku pergi, aku pergi. Jangan marah-marah.”
Dia masuk ke dalam rumah, mengambil jaring yang sudah dibuatnya semalam. “Nanti aku cari ikan di sungai. Mungkin masih ada yang tertinggal.”
Bu Siti menghela napas. “Ayo cepat, jangan sampai telat.”
Pak Sastro keluar dari rumah, menuju sungai. Dia melihat Budi dan teman-temannya sedang dikelilingi oleh pemuda itu. Dia segera mendekat.
“Apa ini, Bang? Ngapain anak-anak ini?” tanya Pak Sastro dengan tenang.
Pemuda itu menatap Pak Sastro. “Pak Sastro? Siapa itu?”
“Budi anak saya. Ada masalah?”
Pemuda itu tersenyum. “Tidak ada masalah. Cuma mau bagi ikan dengan anaknya.”
Pak Sastro tahu bahwa pemuda itu sedang mencari masalah. Dia segera mengambil jaringnya dan mengikatnya di pundak. “Ayo, Budi, kita cari tempat lain. Jangan di sini.”
Budi senang bisa kabur dari situ. Dia mengikuti ayahnya sambil melihat pemuda itu dengan marah.
“Bang, tunggu,” kata pemuda itu. “Kalo mau pergi, kasih dulu uang untuk beli rokok.”
Pak Sastro berhenti. Dia menatap pemuda itu dengan marah. “Kamu itu sudah terlalu jauh. Ini anak-anak. Jangan sampe kita jadi seperti kamu nanti.”
Pemuda itu marah. “Apa? Kamu mau ngajar aku hidup?”
“Jangan sampe kau ngajarin anak-anak kita jalan yang salah,” kata Pak Sastro dengan keras.
Pemuda itu tersenyum sinis. “Oke, kita lihat saja. Tapi ingat, di sini aku yang berkuasa.”
Pak Sastro hanya bisa menghela napas. Dia mengambil uang dari saku celananya, uang yang seharusnya untuk membeli beras, dan memberikannya kepada pemuda itu.
“Ini untuk rokokmu. Jangan sampe kau ganggu anak-anak lagi.”
Pemuda itu mengambil uang itu dan langsung pergi. “Terima kasih, Pak Sastro. Nanti kita ketemu lagi.”
Setelah pemuda itu pergi, Budi menatap ayahnya dengan kagum. “Ayah, kamu hebat.”
Pak Sastro tersenyum pahit. “Kita harus bijak, Budi. Tapi jangan pernah jadi seperti dia.”
Budi mengangguk. “Aku nggak akan jadi seperti dia.”
Pak Sastro dan Budi terus mencari ikan di sungai. Akhirnya mereka mendapat beberapa ikan kecil, cukup untuk lauk makan malam.
Sementara itu, Lina sudah siap berangkat sekolah. Dia mengenakan seragam yang sudah agak kotor, tapi tidak ada pilihan lain.
“Jangan lupa beli telur,” kata Bu Siti sebelum pergi.
“Oke, ibu,” jawab Lina.
Setelah ibunya pergi, Lina keluar dari rumah dan berjalan menuju sekolah. Dia melewati jalan-jalan yang rusak, rumah-rumah yang sudah lapuk, dan orang-orang yang sedang sibuk mencari nafkah.
Di sekolah, Lina tidak bisa fokus. Pikirannya selalu kembali ke rumahnya, ke sungai yang tercemar, ke ayahnya yang tidak mau bekerja, ke adiknya yang harus mencari ikan di sungai yang berbahaya.
Saat pulang sekolah, Lina langsung pulang ke rumah. Dia melihat ayahnya dan adiknya sudah ada di rumah, sedang membersihkan ikan yang mereka dapatkan.
“Kamu dapat ikan apa?” tanya Lina.
Budi tersenyum. “Dapat beberapa ikan kecil. Nanti jadi lauk makan malam.”
Lina menghela napas. “Ayah, kenapa tidak mau kerja? Kita bisa buka warung kecil atau jualan gorengan. Lebih baik dari harus mencari ikan di sungai yang kotor.”
Pak Sastro hanya diam. “Besok, besok aja. Besok pasti ada yang beli kambing.”
Lina marah. “Ayah, tolonglah! Kita tidak bisa terus seperti ini. Saya sudah capek menghadapi teman-teman di sekolah yang selalu menanyakan kenapa seragam saya selalu kotor dan bau ikan.”
Pak Sastro tersenyum pahit. “Maaf, Lina. Ayah sudah berusaha.”
Tapi Lina tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah berubah. Dia hanya bisa menghela napas dan menerima kenyataan itu.
Malam itu, mereka makan nasi dengan lauk ikan kecil yang ditemukan Budi. Rumah itu kecil, beratap seng, dinding bambu yang sudah lapuk. Udara di dalam rumah itu kaku dan berbau asap dari kompor minyak tanah yang mereka gunakan untuk memasak.
Setelah makan, Lina duduk di serambi rumah sambil melihat langit yang gelap. Dia merasa sedih dan putus asa. Dia ingin keluar dari kehidupan ini, ingin hidup seperti anak-anak lain yang tinggal di kota.
Tapi dia tahu bahwa itu adalah impian yang mustahil. Kehidupan di pinggiran kota seperti ini adalah kenyataan yang harus diterimanya.
Keesokan harinya, Lina bangun lebih awal. Dia memutuskan untuk mencari pekerjaan sampingan. Dia ingin membantu keluarganya, ingin mengubah nasib mereka.
Dia keluar dari rumah dan berjalan ke pasar. Di pasar, dia melihat banyak orang yang sedang sibuk berjualan. Dia mencari pekerjaan, tapi tidak ada yang mau mempekerjakannya.
Akhirnya, dia memutuskan untuk jadi buruh cuci di sebuah rumah makan. Dia harus bangun pukul empat pagi, bekerja hingga pukul sepuluh malam, dengan upah yang sedikit.
Tapi Lina tidak peduli. Dia hanya ingin membantu keluarganya.
Sementara itu, di rumah, Pak Sastro masih duduk di serambi rumahnya sambil menggosok gigi. Dia melihat anaknya pergi bekerja dengan penuh semangat.
“Anakku sudah besar,” kata Pak Sastro dengan pelan.
Dia menghela napas. Mungkin, dia harus berubah juga. Mungkin, dia harus mulai bekerja untuk anak-anaknya.
Keesokan harinya, Pak Sastro bangun lebih awal. Dia membersihkan diri dan berangkat ke pasar. Dia ingin mencari pekerjaan.
Di pasar, dia melihat banyak orang yang sedang sibuk berjualan. Dia mencari pekerjaan, dan akhirnya dia menemukan pekerjaan sebagai penjual sayur.
Dia harus bangun pukul empat pagi, pergi ke pasar grosir untuk membeli sayur, lalu berjualan di pasar hingga sore hari.
Pekerjaan itu melelahkan, tapi Pak Sastro tidak peduli. Dia hanya ingin membantu anak-anaknya.
Akhirnya, kehidupan mereka mulai berubah. Lina masih bekerja di rumah makan, sementara Pak Sastro berjualan sayur di pasar. Budi masih sekolah, tapi dia tidak lagi mencari ikan di sungai.
Rumah mereka masih kecil dan kotor, tapi suasana di dalam rumah itu sudah berubah. Ada harapan baru, ada keinginan untuk lebih baik.
Lina masih sering merasa sedih melihat kehidupan mereka, tapi dia tidak putus asa. Dia tahu bahwa dengan kerja keras dan kesungguhan, mereka akan bisa mengubah nasib mereka.
Suatu hari, ketika Lina pulang kerja, dia melihat seorang anak kecil yang sedang menangis di pinggir jalan. Anak itu tersesat, tidak tahu cara pulang.
Lina segera mendekat. “Ada apa, adik?”
Anak itu menangis lebih keras. “Saya tersesat. Saya mau pulang ke rumah.”
Lina menenangkan anak itu. “Jangan khawatir, saya akan bantu cari rumahmu.”
Dia membawa anak itu ke polisi, dan akhirnya polisi berhasil menemukan orang tua anak itu.
Orang tua anak itu sangat berterima kasih kepada Lina. “Terima kasih, anak. Kamu sangat baik.”
Lina tersenyum. “Tidak apa-apa, pak.”
Saat itu, Lina merasa bahwa dia sudah bisa membantu orang lain, meskipun hidupnya masih sulit.
Dia kembali ke rumah dengan hati yang ringan. Dia melihat ayahnya sudah ada di rumah, sedang duduk di serambi sambil menggosok gigi.
“Ayah, saya sudah pulang,” kata Lina.
Pak Sastro menatap anaknya dengan senyum. “Kerjaannya lancar?”
Lina mengangguk. “Iya, lancar.”
Mereka duduk berdampingan, menatap langit yang mulai gelap. Ada harapan baru di antara mereka, harapan bahwa kehidupan mereka akan lebih baik.
Tapi mereka tahu bahwa jalan itu masih panjang. Mereka harus terus berjuang, terus berusaha untuk mengubah nasib mereka.
Kehidupan di pinggiran kota memang sulit, tapi dengan kerja keras dan kesungguhan, mereka akan bisa menghadapinya.
Dan itulah cerita mereka, cerita tentang kehidupan di pinggiran kota yang penuh rintangan, tapi juga penuh harapan.




Recent Comments