Cerpen Wonosobo

koleksi cerpen wonosobo asri

Cerpen Horror

Janji yang Berdarah

Pukul 03.00 pagi, kota Jakarta masih tertidur dalam kegelapan. Hanya beberapa lampu jalan yang menyala, memberi cahaya samar di pinggiran kota. Di balik jalan raya yang sepi itu, ada seorang pemuda bernama Slamet. Usianya baru menginjak 20 tahun, tapi wajahnya sudah tampak tua oleh beban hidup. Matanya berkaca-kaca, tampak lelah menghadapi hari yang panjang.

Slamet baru saja pulang dari pekerjaannya sebagai buruh angkut di pasar. Gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk membeli nasi pecak dan teh di warung pinggir jalan. Rumahnya adalah sebuah rumah panggung di pinggiran Jakarta yang sudah tua dan berlubang.

“Masih hidup, Slamet?” tanya tetangganya, Mbak Siti, seorang janda yang hidup bertetangga.

Slamet mengangguk pelan. “Iya, mbak. Hanya mau tidur.”

Di balik pintu rumah yang aus itu, tidak ada lagi orang yang menunggu dia. Ayahnya sudah meninggal dua tahun lalu karena sakit, dan ibunya sudah lama pergi meninggalkan mereka. Slamet hidup sendirian, bertahan hidup dengan pekerjaan seadanya.

Di bawah kasur lantai, ada sebuah kotak kardus. Di dalamnya tersimpan semua harapannya. Uang recehan yang dia kumpulkan selama setahun ini. Jumlahnya masih sedikit, hanya beberapa ribu rupiah.

Slamet mengeluarkan uang itu dan menatapnya dengan tatapan sedih. “Berapa lama lagi aku harus hidup seperti ini?”

Dia merasa putus asa. Setiap hari sama saja. Bangun pagi, kerja, pulang, makan, tidur. Tidak ada harapan untuk masa depan. Hidup di kota ini terlalu sulit bagi orang miskin seperti dia.

Suatu malam, saat sedang duduk di serambi rumahnya, Slamet melihat ada seorang laki-laki tua yang berjalan pelan di depan rumahnya. Wajahnya pucat, matanya merah, dan pakaian yang dipakainya kumuh.

Slamet merasa curiga. “Siapa ini?”

Laki-laki tua itu mendekati Slamet. “Mau jalan pintas, anak muda?”

Slamet menghela napas. “Jalan pintas? Apa maksudnya?”

Laki-laki tua itu tersenyum seram. “Aku bisa bantu kamu mendapatkan kekayaan. Cukup berikan sesuatu yang berharga untukmu.”

Slamet ragu. “Apa yang harus kuberikan?”

“Jiwamu,” jawab laki-laki tua itu dengan suara yang serak.

Slamet tertawa pelan. “Itu lelucon. Siapa yang mau jual jiwanya?”

Laki-laki tua itu menghela napas. “Aku bukan lelucon. Aku adalah penjaga pintu antar dunia. Aku bisa membawamu ke dunia lain, tempat di sana kamu bisa mendapatkan segala kekayaan yang kamu inginkan. Tapi, ada harganya.”

Slamet masih ragu. “Apa harganya?”

“Korban. Kamu harus mempersembahkan korban untuk aku. Sesuatu yang berharga,” kata laki-laki tua itu.

Slamet diam sejenak. Dia memikirkan tawaran itu. Hidupnya sekarang tidak ada jalan keluarnya. Mungkin, ini adalah satu-satunya cara.

“Apa jenis korban yang kamu mau?” tanya Slamet.

Laki-laki tua itu tersenyum seram. “Aku mau darahmu. Darah dari orang yang masih hidup dan memiliki harapan. Kamu harus memberikan darahmu setiap malam selama sebulan. Setelah itu, kamu akan mendapatkan kekayaan yang kamu inginkan.”

Slamet menghela napas. “Saya setuju.”

Laki-laki tua itu tersenyum. “Baiklah. Mulai besok malam. Datang ke sini pukul 12 malam. Aku akan memberikan petunjuk lebih lanjut.”

Keesokan harinya, Slamet tidak bisa tidur. Pikiran tentang tawaran itu terus menghantuinya. Apakah dia harus melakukan itu? Apakah dia harus mempertaruhkan nyawanya?

Tapi di saat yang sama, dia juga merasa ada harapan. Harapan untuk mengubah nasibnya.

Pukul 12 malam, Slamet datang ke serambi rumahnya. Laki-laki tua itu sudah menantang di sana.

“Kamu datang, anak muda,” kata laki-laki tua itu.

Slamet mengangguk. “Saya datang. Apa yang harus saya lakukan?”

Laki-laki tua itu mengambil sebuah pisau dari balik bajunya. “Ambil pisau ini. Potong jari tanganmu.”

Slamet terkejut. “Apa? Potong jari tangan?”

“Ya. Darah dari jari tanganmu adalah pembayaran pertama. Setelah itu, kamu akan mendapatkan petunjuk untuk jalan pintas,” kata laki-laki tua itu.

Slamet ragu. Tapi dia sudah setuju. Dia mengambil pisau itu dan memegang tangan kirinya.

Dia menekan pisau itu ke jari tengah tangannya. Tepat saat itu, darah mulai mengucur.

Laki-laki tua itu tersenyum seram. “Baik. Sekarang, simpan darah itu di dalam botol ini.”

Slamet melakukannya. Dia merasa sakit, tapi dia harus bertahan.

“Besok malam, datang lagi. Kamu harus memberikan darah lagi,” kata laki-laki tua itu sebelum menghilang.

Keesokan harinya, Slamet bangun dengan rasa sakit di tangan. Dia melihat jari tengah tangannya yang terpotong. Darah masih mengucur.

Dia merasa takut. Apakah dia telah membuat kesalahan besar?

Tapi di saat yang sama, dia juga merasa ada harapan. Harapan untuk mengubah nasibnya.

Selama sebulan berikutnya, Slamet terus datang ke serambi rumahnya setiap malam. Setiap malam, dia harus memberikan darahnya sebagai pembayaran.

Dia mulai melihat perubahan di sekitarnya. Uang mulai datang kepadanya dengan cara yang aneh. Uang itu muncul di bawah kasurnya, di dalam dompetnya, atau diberikan oleh orang yang tidak dikenal.

Slamet mulai kaya. Dia bisa membeli rumah baru, mobil, dan segala hal yang dia inginkan.

Tapi di balik kekayaannya, ada sesuatu yang meresahkan. Dia sering mendengar suara aneh di malam hari. Suara bisikan yang mengganggu tidurnya. Dia juga sering melihat bayangan di depan matanya.

Suatu malam, saat Slamet sedang duduk di serambi rumah barunya yang megah, laki-laki tua itu muncul lagi.

“Kamu sudah mendapatkan kekayaan yang kamu inginkan, anak muda,” kata laki-laki tua itu.

Slamet tersenyum. “Terima kasih. Ini semua berkat bantuanmu.”

Laki-laki tua itu tersenyum seram. “Tapi ingat, setiap kekayaan memiliki harganya. Kamu sudah memberikan darahmu selama sebulan. Sekarang, saatnya kamu membayar harga yang sebenarnya.”

Slamet ragu. “Apa yang kamu maksud?”

Laki-laki tua itu menghela napas. “Kamu harus memberikan sesuatu yang lebih berharga. Darahmu tidak cukup lagi. Kamu harus memberikan nyawamu.”

Slamet terkejut. “Apa? Nyawaku?”

“Ya. Kamu harus mati. Setelah itu, jiwamu akan menjadi milikku selamanya,” kata laki-laki tua itu.

Slamet panik. “Tidak! Saya tidak mau mati!”

Laki-laki tua itu tersenyum seram. “Kamu sudah setuju sejak awal. Kamu tidak bisa mundur sekarang.”

Slamet mencoba kabur. Tapi tidak ada jalan keluar. Rumah itu sudah dikunci oleh makhluk itu.

“Jangan mencoba kabur, anak muda. Kamu tidak akan bisa lolos,” kata laki-laki tua itu.

Slamet merasa takut. Dia sudah membuat kesalahan besar. Dia telah menjual jiwanya untuk kekayaan yang sia-sia.

Pada saat itu, Slamet melihat ada sebuah salib di dinding. Dia tahu bahwa itu adalah satu-satunya harapan.

Dia berlari ke arah salib itu. Dia mengambilnya dan menyerang laki-laki tua itu.

“Kamu tidak akan bisa melarikan diri!” teriak laki-laki tua itu.

Tapi Slamet tidak gentar. Dia terus menyerang dengan salib itu.

Tiba-tiba, laki-laki tua itu berubah wujud. Wajahnya menjadi lebih menyeramkan, matanya merah menyala, dan tangan-tangannya berubah menjadi cakar.

“Kamu akan mati!” teriak makhluk itu.

Tapi Slamet tidak gentar. Dia tahu bahwa dia harus bertahan.

Pada saat itu, pintu rumah itu terbuka. Seorang pendeta muda masuk ke dalam.

“Aku tahu kamu ada di sini. Kamu tidak akan bisa melarikan diri,” kata pendeta itu.

Makhluk itu terkejut. “Siapa kamu?”

“Aku adalah orang yang ditugaskan untuk menjaga orang-orang seperti kamu. Kamu tidak akan bisa melarikan diri,” kata pendeta itu.

Makhluk itu marah. “Kamu tidak akan bisa menghentikanku!”

Pendeta itu mengangkat tangannya. “Dengan kuasa Tuhan, aku memerintahkanmu untuk kembali ke tempat asalmu!”

Makhluk itu berteriak kesakitan. Wajahnya berubah menjadi lebih menyeramkan. Tapi akhirnya, makhluk itu menghilang.

Slamet jatuh ke lantai, lelah. Dia merasa lega. Akhirnya, dia telah bebas dari makhluk itu.

Pendeta itu mendekati Slamet. “Kamu sudah selamat. Tapi ingat, setiap keputusan memiliki konsekuensinya. Kamu telah hampir kehilangan nyawamu.”

Slamet menghela napas. “Terima kasih, Bapa Pendeta. Aku tidak akan lakukan kesalahan seperti ini lagi.”

Pendeta itu tersenyum. “Semoga Tuhan memberikan kekuatan untukmu.”

Setelah itu, pendeta itu pergi meninggalkan Slamet.

Slamet duduk di lantai, menatap langit yang mulai terang. Dia merasa bersyukur. Akhirnya, dia telah mempelajari pelajaran berharga dari pengalamannya.

Kemiskinan bukanlah alasan untuk mengambil jalan pintas. Setiap kekayaan yang didapat dengan cara tidak halal pasti akan membawa malapetaka.

Dan itulah cerita Slamet, seorang pemuda miskin yang hampir kehilangan nyawanya karena keinginan untuk kaya. Tapi akhirnya, dia menemukan jalan yang benar.