Hembusan angin pegunungan membawa aroma tanah basah dan dupa yang menyengat ketika Budi memarkir motornya di depan balai desa Girirejo. Sejak dua bulan terakhir, desa yang terpencil di lereng Gunung ini mendadak ramai diperbincangkan, bukan karena panorama alamnya yang memukau, melainkan karena sebuah fenomena aneh: “Ajaran Leluhur Pembebas Jiwa” yang dipimpin oleh seorang kakek misterius bernama Mbah Suro.
Budi, seorang jurnalis muda dari harian “Kabar Nusantara”, ditugaskan meliput kejadian ini. Desas-desus yang sampai ke redaksi cukup menggelisahkan: warga meninggalkan pekerjaan, anak-anak putus sekolah, dan ada laporan tentang ritual aneh di tengah hutan pada malam bulan purnama. Yang paling mencengangkan, semua dimulai sejak kemunculan Mbah Suro enam bulan lalu, seorang kakek tua dengan kulit keriput dan mata yang terasa menembus jiwa, yang tiba-tiba saja ada di desa seperti titisan dewa.
“Mas Budi? Saya Sarjo, Kepala Desa,” sapa seorang pria paruh baya dengan wajah lelah dan seragam lurah yang kumel. Tangannya kasar saat berjabat. “Maaf, keadaan desa… agak kacau sejak Mbah Suro datang.”
Budi mengangguk simpatik. “Bisa Pak Kades ceritakan lebih detail? Dari redaksi hanya mendapat laporan-laporan simpang siur.”
Sarjo menghela napas berat. Ia mengajak Budi duduk di teras balai desa yang sederhana. Dari kejauhan, terdengar lantunan mantra berirama aneh dan tabuhan gamelan kecil yang monoton. “Mbah Suro… dia datang dengan membawa ‘cahaya’. Katanya, ajarannya adalah jalan pintas untuk mencapai kehidupan abadi dan kekayaan melimpah. Caranya? ‘Membebaskan jiwa dari belenggu duniawi’ melalui ritual-ritual khusus.”
“Ritual seperti apa?” tanya Budi, mencatat.
“Mulai dari yang ringan, seperti minum ‘air keramat’ dari sumber tersembunyi yang katanya bisa menyembuhkan segala penyakit, hingga… yang berat.” Sarjo menunduk, suaranya hampir berbisik. “Ada ritual ‘Pembersihan Pikiran’. Warga yang dianggap ‘terlalu banyak pertanyaan’ atau ‘ragu’ akan dibawa ke hutan pada malam Jumat Kliwon. Mereka dimandikan dengan air sungai yang sudah dikhususkan, diberi minum ramuan pahit, lalu didoakan dengan mantra-mantra panjang. Setelahnya… mereka berubah. Tenang, tapi… kosong. Seperti kehilangan gairah hidup. Mereka hanya mengikuti apa kata Mbah Suro tanpa protes.”
Budi mengerutkan kening. Ini mengarah pada indikasi pencucian otak. “Dan anak-anak sekolah?”
“Diizinkan Mbah Suro untuk tidak sekolah. Katanya, ilmu sekolah hanya memenuhi kepala dengan sampah, menghalangi ‘pencerahan jiwa’. Orang tua percaya. Mereka lihat ‘hasilnya’ – beberapa warga yang rajin ikut ritual mendadak punya uang banyak, katanya karena ‘berkah’ Mbah Suro. Tapi tidak ada yang tahu jelas sumber uangnya.” Sarjo menatap Budi dengan mata nanar. “Saya sudah melapor ke kecamatan, tapi responnya lambat. Mbah Suro… dia punya pengaruh kuat. Warga takut melawannya. Katanya, yang melawan akan ditimpa bala.”
Hari itu, Budi berkeliling desa. Suasana memang berbeda dari desa-desa lainnya. Anak-anak yang seharusnya sekolah justru duduk berkelompok di bawah pohon besar, melafalkan mantra yang diajarkan para pengikut Mbah Suro yang lebih tua. Rumah-rumah tampak sepi, pintu-pintu banyak terbuka, penghuninya pergi mengikuti ritual di padepokan Mbah Suro yang terletak di tepi hutan, sekitar dua kilometer dari pusat desa
Budi mendekati seorang ibu muda yang sedang menyapu halaman. “Bu, maaf mengganggu. Boleh saya tahu tentang Mbah Suro?”
Ibu itu menoleh, matanya agak kosong, tapi tersenyum tipis. “Mbah Suro? Beliau penolong. Anak saya dulu sakit-sakitan, sejak minum air keramat Beliau, sehat-sehat saja. Suami saya, dulu hanya buruh tani, sekarang… bisa beli sepeda motor baru. Itu berkah Mbah Suro.”
“Tapi bu, anak ibu tidak sekolah?”
“Ah, sekolah untuk apa? Mbah Suro bilang, ilmu sejati ada di dalam diri, dibangkitkan melalui ritual. Anak saya sekarang tenang, tidak nakal lagi. Itu yang penting.” Jawabannya datar, tanpa emosi, seperti robot yang di-program.
Budi merasa ngeri. Ia melanjutkan perjalanan ke arah padepokan. Semakin dekat, bau dupa dan kemenyan semakin pekat, tercampur aroma aneh seperti darah dan tanah basah. Terdengar suara gamelan lebih jelas, diiringi teriakan dan tangisan histeris sesekali. Di gerbang padepokan sederhana berupa anyaman bambu, berdiri dua pria bertubuh kekar dengan mata tajam, mengawasi siapa pun yang mendekat. Mereka adalah “pengawal” Mbah Suro.
“Mau apa, Mas?” tanya salah satunya dengan suara rendah.
“Saya wartawan, mau ketemu Mbah Suro,” jawab Budi mencoba tenang.
Pengawal itu saling pandang, lalu menggeleng. “Tidak bisa. Mbah Suro sedang dalam sesi pencerahan. Kembali lain waktu.”
Budi tidak menyerah. Ia kembali ke desa, mencari warga yang mungkin masih berpikir waras. Ia menemukan seorang kakek tua, Mbah Karto, duduk di teras rumahnya yang tua, merokok lintingan dengan wajah muram.
“Mbah, saya dengar Bapak tidak ikut ajaran Mbah Suro?”
Mbah Karto menatap Budi tajam. “Benar. Itu bukan ajaran leluhur. Itu… sesat.” Suaranya parau, penuh penolakan. “Leluhur kita mengajarkan kebaikan, kerja keras, dan hormat pada alam. Bukan malas dan menyerahkan hidup pada orang lain dengan iming-iming murahan.”
“Apakah Mbah tahu sumber uang yang diberikan Mbah Suro pada pengikutnya?”
Mbah Karto mendekat, suaranya lebih berbisik. “Saya curiga… ada yang tidak beres. Beberapa waktu lalu, saya lihat secara diam-diam. Ada truk kecil masuk desa tengah malam, membawa kotak-kotak kayu. Dibawa ke gudang tua di belakang padepokan. Isinya? Saya tidak tahu pasti, tapi baunya… seperti minuman keras oplosan. Dan ada beberapa warga yang rajin ikut ritual, tiba-tiba jadi calo tiket atau semacamnya di kota. Uangnya banyak, tapi tidak jelas asalnya.” Mbah Karto menghela napas. “Mbah Suro pintar. Dia manfaatkan keputusasaan warga. Keringinan hidup, keinginan instan. Dia tawarkan jalan mudah, padahal… itu jalan buntu.
Malam itu, Budi tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Dengan bantuan Mbah Karto yang memberikan peta jalur tikus di hutan, Budi menyusup ke area belakang padepokan saat malam menjelang bulan purnama. Suasana mencekam. Hanya cahaya remang-remang obor dan suara serangga malam.
Dari balik semak belukar, Budi melihat gudang tua yang disebutkan Mbah Karto. Pintunya terbuka sedikit. Dengan hati-hati, Budi mengintip. Apa yang dilihatnya membuatnya terhenyak. Tumpukan kardus minuman keras berbagai merek tak dikenal berserakan. Di sudut lain, terlihat beberapa karung berisi benda mencurigakan yang berbau tajam – mungkin bahan kimia berbahaya untuk oplosan. Di dekatnya, beberapa pria yang Budi kenal sebagai pengawal setia Mbah Suro sedang menghitung tumpukan uang
Ini bukan ajaran spiritual. Ini sindikat kejahatan yang disamar sebagai agama! Mbah Suro menggunakan ritual dan takhayul untuk mengontrol warga, menjadikan mereka sebagai kurir dan penjual barang haram, sekaligus mencuci uang hasil kejahatan melalui “sumbangan” dan “berkah” yang diberikan pada pengikut setia. Warga yang “dibebaskan jiwanya” itu sebenarnya telah dicuci otaknya, menjadi budak tanpa sadar dalam jaringan kriminal.
Budi segera pergi, hatinya berdebar kencang. Ia harus melapor ke polisi. Tapi sebelum sempat jauh, sebuah bayangan menyergapnya dari belakang semak. Sebuah tangan kuat menutup mulutnya. Budi berontak, tapi lawannya lebih kuat. Ia dibawa masuk ke dalam gudang.
“Siapa kamu? Mata-mata?” bentak seorang pengawal, wajahnya garang
Budi tidak bisa menjawab, mulutnya masih tertutup. Ia dihadapkan pada sosok yang duduk tenang di atas tikar anyaman di sudut gudang, diterobi cahaya lilin. Mbah Suro. Matanya yang biasa terasa menembus kini memancarkan kebencian dingin.
“Jurnalis… selalu mencari masalah,” ucap Mbah Suro dengan suara berat yang tiba-tiba terdengar lebih muda dan berotot. “Kamu tahu terlalu banyak.”
Budi merasa ngeri. Sosok kakek renta itu lenyap, digantikan aura berbahaya. Ini bukan dukun sesat biasa. Ini otak kejahatan berbahaya.
“Bawa dia ke hutan. Lakukan ritual ‘Pembersihan’ khusus. Pastikan dia tidak ingat apa-apa, atau… hilang selamanya,” perintah Mbah Suro dingin.
Pengawal menyeret Budi keluar, menuju hutan gelap. Budi berjuang sekuat tenaga. Dalam kepanikan, ia berhasil mencabuti pena dari sakunya dan menusukkannya ke lengan pengawal yang menahannya. Pengawal itu meringis kesakitan, lengannya melemas. Budi melepaskan diri dan berlari sekuat tenaga masuk ke dalam hutan, tanpa arah, hanya mengandalkan insting bertahan hidup. Ia mendengar teriakan marah dan suara anjing menggonggol di belakangnya.
Budi lari tanpa henti, menembus semak dan duri yang menyayat kulit. Ia tersandung akar, jatuh bangun. Suara pengejarnya semakin dekat. Dalam keputusasaan, Budi melihat cahaya samar di kejauhan – cahaya dari desa. Dengan sisa tenaga terakhir, ia merangkak menuju cahaya itu, tepat saat anjing-anjing sudah hampir menerkam.
“Tok! Tok! Tok!” Budi memukul pintu rumah Mbah Karto dengan lemah.
Pintu terbuka. Mbah Karto terkejut melihat Budi yang babak belur dan ketakutan. “Mas Budi! Cepat masuk!”
Budi masuk, lalu rebah. “Mbah… polisi… Mbah Suro… minuman keras… bahaya!” katanya terengah-engah.
Mbah Karto segera mengunci pintu rapat-rapat. Ia mengerti. Dengan sigap, kakek tua itu mengambil telepon genggam tua miliknya dan menekan nomor darurat yang ia simpan. “Halo Polsek? Saya Karto dari Girirejo. Ada keadaan darurat! Sindikat narkoba dan pencucian otak di bawah kedok ajaran sesat! Mereka akan membunuh saksi! Cepat!”
Beberapa saat kemudian, terdengar sirine polisi memecah keheningan malam. Cahaya sorot menyinari desa. Pengawal Mbah Suro yang mengejar Budi terkejut dan segera melarikan diri kembali ke padepokan.
Keesokan paginya, Girirejo berubah. Polisi menggerebek padepokan dan gudang. Mbah Suro dan beberapa pengawal intinya ditangkap. Barang bukti minuman keras oplosan, bahan kimia berbahaya, dan uang dalam jumlah besar berhasil disita. Warga yang selama ini terbius dibawa ke puskesmas untuk pemeriksaan dan rehabilitasi mental. Anak-anak yang putus sekolah mulai dijemput untuk kembali belajar.
Budi, setelah mendapat perawatan, duduk di teras balai desa bersama Kades Sarjo dan Mbah Karto. Matahari pagi menyinari desa yang kini terasa lebih lega, meski luka masih terasa.
“Terima kasih, Mas Budi,” ucap Sarjo dengan mata berkaca-kaca. “Anda menyelamatkan desa kami.”
Budi menggeleng lemah. “Saya hanya melakukan tugas. Yang hebat Mbah Karto dan warga yang masih berpikiran jernih.”
Mbah Karto menghembuskan asap rokoknya. “Pelajaran berat, Mas. Keterpurukan ekonomi dan kebodohan adalah tanah subur bagi penipu berkedok spiritual. Kita harus waspada. Jangan mudah percaya pada jalan instan. Keberkahan sejati datang dari kerja keras, kejujuran, dan akal sehat yang diberi Tuhan.”
Budi menatap ke arah padepokan yang kini sepi dan diberi garis polisi. Bayangan Mbah Suro yang misterius dan penuh aura suci itu telah lenyap, tersingkap sebagai sosok manipulator yang keji. Fenomena Girirejo menjadi cermin mencekam: bagaimana kebutuhan akan harapan dan kemudahan bisa membutakan mata hati, membuka jalan bagi ajaran sesat yang pada akhirnya justru memusnahkan jiwa. Dan di balik itu semua, selalu ada korban yang perlu diselamatkan, dan kebenaran yang perlu diperjuangkan, meski harus melalui kegelapan yang pekat.


Recent Comments