Pukul setengah tujuh pagi, langit di kawasan Kramat Jati mulai cerah. Namun bagi Aldi, cerahnya langit itu tidak seberapa berarti. Baginya, pagi adalah waktu dimana dia harus bangun dari peluk tikar bekas di bawah jembatan layang Pondok Gede, tempat dia dan teman-temannya menghabiskan malam.
“Bangun, Aldi! Udah pagi nih!” suara Budi, teman satu gengnya, menggema di telinga.
Aldi menggelengkan kepala perlahan. Mata masih setengah tertutup karena kelelahan. “Aku mau tidur lagi,” gumamnya pelan.
“Aduh, lagi males. Kalo mau dapat makanan, harus kerja. Udah, bangun!” Budi mengambil botol mineral bekas yang mereka kumpulkan semalam. “Kita cari sampah dulu, nanti jual ke tukang sampah.”
Aldi akhirnya bangun, menggosok mata dengan tangan kotor. Dia melihat Budi sudah memasang topi pecahnya yang sudah aus, siap untuk beraktivitas.
Di kota Jakarta yang padat, anak-anak jalanan seperti Aldi dan Budi adalah pemandangan biasa. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan, mengais rezeki dari sisa-sisa masyarakat yang enggan atau tidak tahu.
Aldi baru berusia 12 tahun, tapi tampaknya lebih tua dari usianya. Kulitnya hitam pekat karena terkena sinar matahari langsung, bajunya koyak di beberapa bagian, celana pendeknya berlubang. Hidup di jalanan membuatnya kebal dengan berbagai hal, tapi di balik ketangguhannya, masih tersimpan rasa takut dan keinginan untuk memiliki rumah.
“Kita cari di mana hari ini?” tanya Aldi sambil mengikuti jejak Budi.
Budi menghela napas. “Di pasar, dekat pintu masuk. Mungkin ada yang buang makanan atau minuman.”
Mereka berjalan kaki dari Kramat Jati ke pasar Jatinegara, jarak sekitar lima kilometer. Perjalanan itu melelahkan, tapi tidak membuat mereka putus asa. Aldi sudah terbiasa berjalan jauh setiap hari.
Di sepanjang jalan, mereka berpapasan dengan anak-anak seusia mereka yang sedang diantar orang tua naik mobil mewah. Aldi pernah bermimpi memiliki hidup seperti itu, tapi mimpi itu segera sirna saat dia kembali ke kenyataan.
Di pasar Jatinegara, suasana sudah ramai. Pedagang mulai membuka gerainya, pembeli mulai berdatangan. Aldi dan Budi langsung menyusup ke area belakang pasar, tempat banyak sampah terbuang.
“Mungkin di sini,” kata Budi sambil menatap tumpukan sampah.
Mereka mulai mengais sampah, mencari botol plastik, kardus, atau barang-barang bekas yang bisa dijual. Tangan mereka kotor, wajah mereka penuh keringat, tapi tidak ada keluhan.
Tiba-tiba, Aldi melihat sesuatu. Di balik tumpukan sampah, ada tas punggung kecil. Dia mendekat dan mengambilnya.
“Ada apa, Aldi?” tanya Budi.
Aldi membuka tas itu. Di dalamnya ada beberapa buku, sebuah botol air mineral yang masih terisi setengah, dan sebuah dompet kecil.
Budi menatap dengan mata bulat. “Wah, dapet dompet!”
Aldi mengambil dompet itu dan membukanya. Di dalamnya ada uang sebesar 50 ribu rupiah dan sebuah kartu identitas.
“Uang! Ini banyak nih!” senyum Budi lebar.
Aldi hanya diam. Dia merasa ragu. “Kita jangan ambil. Ini milik orang.”
“Kenapa? Siapa yang tahu? Ini kita dapat di tumpukan sampah. Berarti sudah dibuang,” kata Budi sambil mengambil uang itu.
Aldi masih ragu. Dia tahu bahwa mengambil barang milik orang lain adalah hal yang salah. Tapi di saat yang sama, dia juga membutuhkan uang untuk membeli makanan.
“Kalau kita jual buku-bukunya, mungkin dapet uang lebih banyak,” kata Aldi sambil menatap buku-buku itu.
Budi mengangguk. “Iya, bisa juga. Tapi uangnya juga kita bagi-bagi.”
Aldi akhirnya setuju. Mereka memutuskan untuk pergi ke warung buku bekas di dekat pasar.
Di warung itu, pemiliknya adalah seorang laki-laki paruh baya yang sudah biasa dengan kehadiran anak-anak jalanan.
“Ada yang mau jual?” tanyanya dengan nada polos.
Aldi mengeluarkan buku-buku dari tas. “Ini, buku-buku bekas.”
Pemilik warung itu memeriksa buku-buku itu satu per satu. “Ini buku pelajaran, harga jualnya 5 ribu per buku. Ada lima buku, jadi total 25 ribu.”
Aldi dan Budi senang. Uang itu cukup untuk mereka beli makanan.
“Terima kasih, bang,” kata Budi sambil memberikan uang kepada pemilik warung.
Setelah itu, mereka pergi ke warung makan terdekat. Mereka memesan dua porsi nasi goreng dengan telur.
Saat makan, Aldi masih memikirkan dompet yang mereka temukan tadi. “Kita harus mencari pemilik dompet itu.”
Budi menghela napas. “Mungkin tidak akan ketemu juga. Di kota ini, banyak orang yang lupa atau kehilangan barang.”
Aldi mengangguk. Dia tahu bahwa Budi benar. Tapi dia tidak bisa menghilangkan rasa bersalahnya.
Setelah makan, mereka berpisah. Budi pulang ke tempat tidur mereka di bawah jembatan, sementara Aldi pergi ke tempat lain.
Aldi memutuskan untuk mencari pemilik dompet itu. Dia melihat kartu identitas di dalam dompet. Nama pemiliknya adalah Ratna Sari, alamatnya di Pondok Gede.
Aldi berjalan ke arah Pondok Gede. Di sana, dia mulai bertanya-tanya pada orang-orang.
“Pak, tahu Ratna Sari?” tanya Aldi pada seorang penjual kue.
Penjual kue itu menatap Aldi dengan tatapan aneh. “Kenapa tanya?”
Aldi menjelaskan bahwa dia menemukan dompet milik Ratna Sari.
“Ah, Ratna Sari itu anak kos. Dia baru saja putus kerja, jadi mungkin sedang stres,” kata penjual kue itu.
Aldi senang. Dia akhirnya menemukan informasi tentang pemilik dompet itu.
“Di mana rumahnya?”
Penjual kue itu memberikan arah. Aldi berterima kasih dan berjalan menuju rumah kontrakan itu.
Di depan rumah kontrakan itu, Aldi melihat seorang wanita muda sedang duduk di tangga, menangis. Wajahnya tampak sedih.
Aldi mendekat. “Bu?”
Wanita itu menoleh. “Ada apa?”
Aldi mengeluarkan dompet dari sakunya. “Ini dompet Bu. Saya temukan tadi pagi di pasar.”
Wanita itu menatap dompet itu, matanya membesar. Dia segera mengambilnya dan membukanya. “Uangku! Terima kasih, anak. Terima kasih banyak!”
Aldi tersenyum. “Sama-sama, Bu.”
Ratna Sari mulai menangis lagi, tapi kali ini karena bersyukur. “Aku baru saja putus kerja, uang ini untuk makan seminggu ke depan. Terima kasih, anak yang baik.”
Aldi hanya diam. Dia merasa senang bisa membantu.
Ratna Sari mengambil uang dari dompet dan memberikan kepada Aldi. “Ini untukmu. Terima kasih telah mengembalikan dompetku.”
Aldi menolak. “Tidak usah, Bu. Ini milik Bu.”
“Tapi aku ingin memberikanmu. Karena kebaikanmu, anak harus dihargai,” kata Ratna Sari dengan tegas.
Aldi akhirnya menerima. Dia tidak tahu berapa jumlah uangnya, tapi dia yakin itu cukup banyak.
“Boleh aku tanya, kenapa Bu sedang duduk di sini?” tanya Aldi.
Ratna Sari menghela napas. “Aku baru saja putus kerja. Aku tidak tahu harus kemana.”
Aldi diam sejenak. Dia merasa simpati pada wanita itu.
“Maukah Bu tinggal bersama kami?” tawaran Aldi spontan.
Ratna Sari tersenyum. “Terima kasih, anak. Tapi aku tidak mau repotkanmu.”
Aldi menghela napas. “Aku tidak repot, Bu. Kita bisa saling membantu.”
Ratna Sari akhirnya setuju. Dia mengikut Aldi ke tempat tidur mereka di bawah jembatan.
Budi terkejut saat melihat Aldi datang dengan seorang wanita.
“Apa ini, Aldi?” tanya Budi.
Aldi menjelaskan bahwa wanita itu adalah Ratna Sari, pemilik dompet yang mereka temukan tadi.
Budi menatap Ratna Sari dengan tatapan penasaran. “Oh, gitu.”
Ratna Sari tersenyum. “Terima kasih telah membawaku ke sini.”
Saat itu, Aldi dan Budi membuat keputusan. Mereka akan membantu Ratna Sari untuk kembali ke kampung halamannya di Jawa Tengah.
Mereka mengumpulkan uang dari hasil kerja mereka. Aldi memberikan sebagian uang yang diberikan Ratna Sari tadi.
Setelah beberapa hari, uang mereka cukup untuk tiket bus.
Hari itu adalah hari perpisahan. Ratna Sari akan pulang ke kampung halamannya.
“Terima kasih, anak-anak. Kalian telah mengubah hidupku,” kata Ratna Sari dengan penuh harapan.
Aldi dan Budi tersenyum. “Sama-sama, Bu. Semoga Bu akan lebih baik di kampung.”
Ratna Sari naik bus, meninggalkan mereka di pinggir jalan. Aldi dan Budi melihat bus itu pergi dengan tatapan sedih namun penuh harapan.
Setelah itu, mereka kembali ke rutinitas mereka. Mencari sampah, mengais rezeki.
Tapi sesuatu telah berubah. Aldi merasa lebih tenang. Dia tahu bahwa ada orang yang peduli padanya.
Beberapa bulan kemudian, Aldi dan Budi menerima surat dari Ratna Sari. Di dalam surat itu, Ratna Sari mengatakan bahwa dia sudah kembali ke kampung halamannya dan mendapat pekerjaan di sebuah toko. Dia juga mengirimkan uang untuk mereka.
Aldi dan Budi senang. Mereka akhirnya bisa membeli makanan yang lebih enak dan beberapa barang yang mereka butuhkan.
Tapi yang lebih penting, mereka merasa bahwa hidup mereka tidak hanya tentang mencari makanan. Ada harapan, ada orang yang peduli.
Dan itu adalah cerita mereka, cerita tentang anak-anak jalanan yang tidak menyerah, yang masih percaya bahwa kehidupan bisa lebih baik.




Recent Comments